Sejarah GKI Sangkrah
Maleis Gereformeerde Kerk / Kie Tok Kauw Hwee / GKI Sangkrah tahun 1940

 

Sejarah Singkat GKI Sangkrah

GKI Sangkrah, Solo adalah Jemaat GKI tertua di wilayah Jawa Tengah bagian selatan. Jemaat ini didewasakan (istilah sekarang “dilembagakan”) pada tanggal 27 Oktober 1933 dengan nama Maleis Gereformeerde Kerk yang kemudian disebut juga Kie Tok Kauw Hwee. Pendewasaan jemaat ini berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam Staadsblad No. 406. Usaha pekabaran Injil di wilayah Jawa Tengah selatan yang dilakukan oleh Gereja Gereformeerd Belanda sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1902. Sebelumnya, usaha-usaha pekabaran Injil itu dilakukan baik oleh perorangan maupun oleh perkumpulan Badan Zending Gereformeerd (NGZV) – Badan Misi Gereja Gereformeerd. Pada mulanya pekabaran Injil tersebut terutama diarahkan ke masyarakat Jawa dan bertujuan untuk mendirikan Gereja-gereja berbasis etnis Jawa. Namun meskipun demikian golongan masyarakat Tionghoa tidaklah diabaikan sama sekali. Orang-orang Tionghoa yang menjadi pemeluk agama Kristen kemudian menggabungkan diri ke Gereja Kristen Jawa (GKJ), antara lain ke GKJ Margoyudan, Solo. Bahkan pada masa itu ada seorang Tionghoa (Sie Siauw Tjong) yang diangkat sebagai penatua di GKJ Margoyudan. Sejak tahun 1920, orang-orang Tionghoa mulai diperkenankan untuk bersekolah di sekolah-sekolah yang menggunakan bahasa Belanda. Maka banyak anak-anak Tionghoa yang mulai bersekolah di Maleis Hollands Chinese School (HCS – sekolah dasar negeri milik pemerintah Belanda khusus untuk orang-orang Tionghoa) di Gemblegan yang berdiri pada tahun 1917. Hal ini makin membuka kesempatan bagi orang-orang Tionghoa untuk berkenalan dengan Injil dan semakin banyak pula anak-anak Tionghoa yang kemudian menjadi Kristen.

Dengan semakin banyaknya orang-orang Tionghoa menjadi Kristen, mulailah timbul masalah bahasa. Orang-orang Tionghoa pada umumnya tidak fasih berbahasa Jawa kromo inggil (tingkat tinggi). Mereka lebih mengenal bahasa Jawa ngoko (sehari-hari). Oleh karena itu sejak tahun 1925, Maleis Zendingwerk (badan misi yang bekerja di kalangan orang-orang Melayu) mulai mengarahkan pemberitaan Injil kepada orang-orang Tionghoa dengan menggunakan Bahasa Melayu. Lalu pada tahun 1930 dibentuklah Zendingscommissie (Komisi Misi) yang dilayani oleh Picauly dan kemudian dibantu oleh Pdt. Soeponohardjo dan Boesono. Mereka menyelenggarakan ibadah Minggu pagi di Purwodiningratan. Tidak berapa lama kemudian tempat ibadah ini dipindahkan ke Sekolah Standard Kristen di Prayunan. Sedangkan ibadah Minggu malam diadakan di Christelijke Hollands Chinese School di Gemblegan. Lalu tempat ibadah tersebut dipindahkan lagi ke Warungmiri, karena di sana telah berdiri Christelijke Maleis Chinese School. Ibadah dihadiri oleh sekitar 25-40 orang. Bahasa yang dipergunakan dalam ibadah tersebut adalah bahasa Melayu Tionghoa, yaitu bahasa Melayu yang dipergunakan oleh kaum Tionghoa sehari-hari. Bahasa tersebut agak berbeda dengan bahasa Melayu baku. Orang Tionghoa pertama yang menerima sakramen baptisan adalah Ny. Jo Kiem Hok. Beliau dibaptiskan pada tgl. 16 Nopember 1930.

Sejarah GKI Sangkrah Sejarah GKI Sangkrah

Ketika jumlah pengunjung ibadah semakin bertambah banyak, maka semakin dirasakan kebutuhan akan tenaga penuh-waktu yang fasih dalam menggunakan Bahasa Melayu-Tionghoa ini. Dan terpilihlah Kwee Tiang Hoe sebagai Guru Injil pertama. Pada tahun 1932 dibentuklah “Panitia Gereja” yang beranggotakan:
1. Kwee Tiang Hoe
2. Ong An Kok
3. Siauw Ing Tjwan
4. Tan Sien Liong
5. The Tjiauw Bian (Johanes Poerwosuwito)
Tugas Panitia Gereja ini adalah mempersiapkan berdirinya sebuah gereja Tionghoa yang resmi. Maka pada tanggal 27 Oktober 1933 dibentuklah Majelis Gereja yang pertama yang terdiri dari :
1 Penatua (Pnt) Jo Kiem Hok
2 Penatua (Pnt) Tan Sien Liong
3 Diaken (Dk) Ong An Kok
4 Diaken (Dk) The Tjiauw Bian / Johanes Poerwosuwito
5 Guru Injil Kwee Tiang Hoe
6 Pendeta Konsulen P.H. van Eijk (kemudian diganti oleh Pdt. G.D.Kuyper)
Pengangkatan Majelis Gereja yang pertama ini menandai lahir atau dewasanya jemaat Kristen Tionghoa ini. Pada saat berdiri, jemaat ini diberi nama Maleis Gereformeerde Kerk yang didasarkan atas keputusan pemerintah Hindia Belanda pada tgl 7 Juli 1943 no 28 dalam Staadsblad No. 406. Oleh karena seluruh anggota jemaatnya berasal dari etnis Tionghoa, maka jemaat ini kemudian mengubah Namanya menjadi Kie Tok Kauw Hwee. Kelak, berdasarkan keputusan Sidang Sinode ke VI di Purwokerto pada tahun 1956 mulailah dipergunakan nama Gereja Kristen Indonesia, sehingga Kie Tok Kauw Hwee pun berganti nama menjadi GKI Sangkrah.

Jemaat ini juga mempunyai hak kepemilikan tanah ataskeputusan pemerintah Hindia-Belanda, sehingga pada tgl 7 Juli 1939 Majelis Gereja membeli sebidang tanah seluas 558 m2 dari Commissie van Beheer der Europeesche Begraafplaatsen. Letak tanah tersebut di Sangkrah, Kelurahan Kedung- lumbu, Kecamatan Pasar Kliwon. Di atas tanah tersebut dibangunlah sebuah Gedung gereja. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Ibu Yo Kiem Hok pada tanggal 15 Agustus 1939 dan hanya dalam waktu 4 bulan, tepatnya tanggal 22 Desember 1939, gedung gereja tersebut sudah dapat dipakai sebagai tempat ibadah. Gedung tersebut sampai sekarang masih berdiri dalam bentuk aslinya. Namun karena usia yang sudah tua, maka pada tahun 2014 mulai direnovasi dan interior dalamnya diusahakan dikembalikan ke bentuk aslinya. Renovasi berlangsung selama hampir 2 (dua) tahun, sehingga baru selesai pada tahun 2016. Gedung lama yang sudah direnovasi tersebut kemudian dinamakan gedung Yo Kiem Hok untuk mengenang dan menghormati almh. Ny. Yo Kiem Hok yang telah menghibahkan tanah tersebut untuk dipakai sebagai gedung gereja pertama. Peresmian gedung YKH pasca-renovasi dilakukan oleh Walikota Surakarta Bapak F.X. Hadi Rudyatmo dalam ibadah syukur tanggal 2 Desember 2016. Pada tahun 2014, Pemerintah Kota Surakarta melalui Dinas Tata Ruang Kota menetapkan gedung gereja sebelah barat itu (Gedung YKH) sebagai bangunan yang memenuhi kriteria cagar budaya sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia no. 11 Tahun 2010.

Untuk membangun semangat dan kerohanian jemaat, pada tahun 1934 diadakanlah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dipimpin oleh Dr. John Sung dan pada tahun 1939 KKR dipimpin oleh Pdt. Dzao Sze Kuang. Buah dari KKR itu segera nampak dengan semakin bertambahnya anggota jemaat dan semakin banyaknya kegiatan-kegiatan gereja. Pada tahun 1939 mulai diselenggarakan Sekolah Minggu yang dilayani oleh para pemuda-pemudi dari Kweekschool (Sekolah Guru). Selain itu juga didirikan Perkumpulan Wanita, Streepjes Club, Driehoek Club, yaitu perkumpulan pemudi yang dilayani oleh Miss J. Reinders – seorang guru di Christelijke HCS; Tri Darma – perkumpulan pemuda, dan Clubjes van Vijf – sebuah kelompok Pemahaman Alkitab yang diperkenalkan oleh Dr. J.H. Bavinck. Khusus berkaitan dengan Gerakan wanita, pada tahun 1946, kaum ibu menghidupkan Kembali organisasi yang ditutup pada masa pendudukan Jepang dengan nama Chung Hua Chi Tu Chiao Nu Hui (Perkumpulan Wanita Kristen Tionghoa) dengan ketua Ny. Tjoa Ting Tjioe. Pada masa itu banyak kegiatan kaum wanita yang diadakan selain Pemahaman Alkitab. Salah satunya adalah mendirikan Sekolah Taman Kanak-kanak yang kemudian diserahkan kepada Yayasan Sekolah-sekolah Kristen (sekarang Widya Wacana). Pada tahun 1951, Perkumpulan Wanita ini juga mengambil Prakarsa untuk menerbitkan majalah “Maria-Marta” yang dapat terus terbit selama berpuluh-puluh tahun kemudian. Pekabaran Injil juga terus meluas. Usaha-usaha pekabaran Injil tidak hanya dilakukan di dalam kota Solo saja, melainkan juga sampai ke Klaten, Wonogiri, Sragen, Kedungbanteng, Karanganyar dan Karangpandan. Buah dari pekabaran Injil dan pemeliharaan anggota jemaat tersebut adalah berdirinya cabang-cabang di kota-kota tersebut kecuali Karanganyar dan Karangpandan.

Perjalanan sejarah GKI Sangkrah tidaklah selalu berjalan tanpa hambatan dan kesulitan. Pada tahun 1942 pecah perang Pasifik. Tentara Jepang menyerbu kota Solo dan tentara Belanda mundur dengan membumihanguskan berbagai aset dari instansi pemerintah. Situasi ini disusul dengan berbagai kerusuhan massal yang terjadi di mana-mana. Gedung gereja GKI Sangkrah juga tidak luput dari sasaran kerusuhan dan penjarahan. Meja, kursi bahkan jendela tidak tersisa kan, habis dijarah massa. Namun setelah terjadi operasi penertiban yang dilakukan oleh tentara Jepang, sebagian dari aset gereja tersebut dapat kembali. Tantangan bukan hanya dari luar saja, tetapi juga muncul dari dalam. Di dalam tubuh GKI Sangkrah terjadi perselisihan paham mengenai pelaksanaan sakramen Perjamuan Kudus. Sebagian anggota menghendaki agar Perjamuan Kudus menggunakan gelas kecil, sementara sebagian lagi menghendaki penggunaan gelas besar untuk dipakai bersama. Perselisihan ini tidak terjembatani sehingga pada tanggal 11 November 1945 beberapa anggota Jemaat dan Majelis Gereja membentuk persekutuan sendiri di Jayengan. Dan pada awal Agustus 1946 Pdt. Kwee Tiang Hoe meninggalkan GKI Sangkrah dan bergabung dengan gereja di Jayengan ini. Inilah perpecahan yang pertama yang dialami oleh jemaat yang relatif masih muda tersebut. Sebagai pengganti dari Pdt. Kwee Tiang Hoe, diangkatlah The Tjiauw Bian sebagai Guru Injil dan Pdt. The Sing Liong (Pdt. C. Martosuwito) sebagai Pendeta Konsulen. Guru Injil The Tjiauwian ditahbiskan sebagai pendeta pada tanggal 7 Oktober 1947. Dan kemudian atas persetujuan Klasis Yogya pada tanggal 24 Agustus 1948 GKI Sangkrah mendewasakan gereja Jayengan dan menjadi GKI Coyudan.

Sejarah GKI Sangkrah
Sejarah GKI Sangkrah Sejarah GKI Sangkrah
Sejarah GKI Sangkrah

Itulah sejarah singkat GKI Sangkrah. Kini dalam perjalanan pelayanan GKI Sangkrah terus bertumbuh, mengembangkan berbagai pelayanan baik ke dalam maupun ke luar. Menghadapi pasca pandemik, GKI Sangkrah terus memperbaiki dirinya, lewat proses-proses yang sedang berjalan baik dari perwilayahan hingga mejelis jemaat. Semua saling mengupayakan perubahan demi pelayanan yang lebih baik. Saat ini dalam data jemaat, GKI Sangkrah Solo beranggotakan 4920 jemaat. Harapannya menuju 1 Abad GKI Sangkrah dapat semakin menjadi berkat bagi jemaat dan masyarakat.

Sejarah Bakal Jemaat GKI Sangkrah

Bajem Wonosaren

Bajem Wonosaren, yang terletak di daerah Jagalan, bermula dari diadakannya kursus kristik, songket, sulam dan lain-lain, secara gratis untuk para ibu dengan kesempatan mengikuti persekutuan penginjilan, di rumah keluarga Tjandra Nugraha, Jl. Jagalan 101, pada tahun 1969. Kemudian, tempat persekutuan itu dipindah ke rumah keluarga Ibu Purwo Sumarto dan dilayani oleh Ibu Sindu Rahardjo, Ibu Kusmanto dan Ibu Susilo Winarno. Persekutuan ini berkembang sehingga dibentuk kelompok katekisasi, yang berhasil diikuti sampai selesai oleh 10 orang dan mereka dibaptis pada tanggal 19 Mei 1971. Selain itu, dibentuk kelompok pemahaman Alkitab dan kelas Sekolah Minggu, bahkan sejak 4 Agustus 1985 diadakan kebaktian di rumah Ibu Marto Darsono yang dihadiri oleh sekitar 45 orang. Sejak saat itu kebaktian berlangsung rutin dan pada tanggal 14 September 1986 dibentuk Panitia Bajem Wonosaren dengan susunan sebagai berikut : Bpk. Hadi Subroto (Ketua), Sdr. Sardjono (Penulis I), Sdr. Untung Nanik (Penulis II), Ibu Purwo Sumarto (Bendahara I) dan Bpk. S. Hanani (Bendahara II). Sejak tanggal 4 Desember 1988, kebaktian Minggu berlangsung di Jl. Wonosaren 21 dengan jumlah pengunjung mencapai 100 orang dewasa dan 75 orang anak Sekolah Minggu. Namun saat pandemi ini, ibadah ditiadakan dan jemaat diarahkan untuk mengikuti ibadah di gereja induk yakni GKI Sangkrah.

Sejarah GKI Sangkrah Sejarah GKI Sangkrah

 

Bajem Randusari Ampel

Pada awalnya dirintis oleh Bpk. Markus Hadi Priyanto (Tjioe Boen Jang), mantan penatua GKI Coyudan, yang mengadakan perayaan Natal dan Tahun Baru bersama keluarga istrinya pada tanggal 31 Desember 1979. Perayaan Natal dan Tahun Baru tersebut dilayani oleh Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Ampel. Ternyata peristiwa itu disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah daerah dusun Randusari, Desa Payungan, Kecamatan Susukan, Kabupaten Semarang. Semenjak Januari 1980, diadakan kebaktian setiap hari Minggu di desa tersebut, yang dihadiri oleh sekitar 20 orang dan dilayani secara bergiliran oleh GKI, GBIS, GBI dan GSJA. Berikutnya, jemaat ini disetujui untuk bergabung dengan Gereja Kristen Alkitab Indonesia (GKAI), bahkan ditempatkan di sana Bpk. Yakub Daliman, seorang mahasiswa praktik dari Seminari Theologia Injili Indonesia untuk menjadi gembala jemaatnya yang pertama. Setelah Bpk. Yakub Daliman lulus, beliau diberi status sebagai tenaga Church Planting sesuai dengan program STII. Selanjutnya, dalam kerja sama dengan Bpk. Markus Hadi Priyanto, dikembangkan pelayanan ke daerah lain di Kecamatan Ampel, yakni Dukuh Tuwan Kulon Desa Selodoko, Sambengan Desa Candi dan Gondang Slamet. Mereka berhasil mendirikan gedung gereja yang baru di Randusari seluas 20 x 7 m2, selesai 50 % dan di Plambang seluas 12 x 7 m2 yang sudah selesai 100 %. Tahun 1986 Bpk. Yakub dipanggil pulang ke rumah Bapa yang kekal dan jemaat tersebut mengalami kekosongan pengerja. Namun demikian, pelayanan yang rutin oleh jemaat GKI Sangkrah membuahkan hasil, karena pada tanggal 6 November 1988 dilakukan sakramen baptis untuk 87 orang dan sidi untuk 18 orang, yang dilayani serempak oleh Pdt. J. A. Prajogo, Pdt. S. Tandiowidagdo dan Pdt. Yosef P. Widyatmadja. Perkembangan berikutnya peresmian Pos PI Randusari sebagai Bajem Randusari terlaksana pada tanggal 21 September 1991.

Sejarah GKI Sangkrah

 

Bajem Pengging

Bajem ini berawal dari perselisihan yang terjadi di tubuh GKJ Pengging pada 1993. Perselisihan tersebut membuat puluhan anggota jemaat dari GKJ Pengging beribadah di GKI Sangkrah. Melihat temuan yang terjadi maka Majelis Jemaat GKI Sangkrah melaporkan hal ini ke Klasis Surakarta (GKJ) dan bersama-sama dengan mereka mencoba mendamaikan perselisihan yang terjadi. Ternyata usaha pendamaian yang dilakukan tidak membuahkan hasil dan dilanjutkan dengan beberapa orang kemudian melakukan atestasi masuk dari GKJ Pengging ke GKI Sangkrah. Dalam perjalanan waktu, MJ GKI Sangkrah merasa jarak tempuh jemaat di Pengging ke Sangkrah cukup jauh. Muncullah anggota jemaat GKI Sangkrah yakni Ibu Kwee Khoen Djoe yang mewariskan sebidang tanah di Pengging. Setelah mendapatkan tanah, pada tanggal 10 Juni 1996 dimulailah pembangunan tempat ibadah dan pada tanggal 16 Agustus 1997. Saat ini Bajem Pengging beralamatkan di Candirejo RT 01/RW 01 Desa Dukuh, Kecamatan Banyudono, Boyolali. Pada tanggal 13 Oktober 1998, Majelis Jemaat di GKI Sangkrah memutuskan untuk merubah status yang semula bernama GKI Sangkrah PosKesPel Pengging menjadi GKI Sangkrah Bajem Pengging hingga sekarang.

Sejarah GKI Sangkrah

 

DAFTAR PARA CALON PENDETA DAN PENDETA
YANG PERNAH DAN MASIH MELAYANI DI GKI SANGKRAH, SOLO

NO NAMA JABATAN TANGGAL PENAHBISAN/ PENEGUHAN MASA PELAYANAN
1. Pdt. P.H. van Eijk Pdt. Konsulen 1933 - ?
2. Pdt. G.D. Kuyper Pdt. Konsulen ?
3. Pdt. Kwee Tiang Hoe Pendeta 18 Desember 1940 1930 – Agustus 1945
4. Pdt. The Sing Liong (Pdt. C. Martosuwito) Pdt. Konsulen
5. Pdt. The Tjiauw Bian (Pdt. Johanes Poerwosuwito) Pendeta 7 Oktober 1947 1 Februari 1946 – 25 Desember 1971
6. Pdt Sam Gosana Pendeta 22 Maret 1950 1 April 1947- 1 Januari 1954
7. Pdt. Tan Poo Djwan (Pdt. Paulus Tanoewidjaja) Pendeta ? – September 1954
8. Pdt. Liem Tong Hwa (Pdt Thomas B. Lemuil) Pendeta 1957
9. Sdr. Liem Ping Siang Guru Injil 1 Juni 1955-1 Mei 1957
10. Pdt. Johanes Tjahjaputera (Tan Tjoe Liang) Pendeta 2 Februari 1962 1 Agustus 1955-?
11. Pdt. N.E. Jeshua (Oei Djie Kong) Pendeta 2 Februari 1962 1 September 1957-?
12. Sdr. Herodion Pitrakarya Gunawan. S.Th Guru Injil Jan 1972 – 1 Okt 1972
13. Pdt. John Augustinus Prajogo (Go Gie Djiang) Pendeta 28 Agustus 1980 1 Jan 1972 – 24 November 1995 (+)
14. Pdt. Agustinus Kermite Pendeta 15 Februari 1983 1 Maret 1980 – Februari 2007
15. Pdt. Joseph Purnama Widyatmadja (untuk YBKS) Pendeta 17 April 1985
16. Sdr. Tri Yeni Sulistiani Calon Pendeta 1 Juli 1986 – 30 Juni 1989
17. Pdt. Mungki Aditya Sasmita Pendeta 17 Februari 1994 1 Juli 1991- sekarang
(Emeritasi tgl 07 Juli 2025)
18. Pdt. Agus Wiyanto Pendeta 20 Maret 1996
19. Pdt. Lanny Sri Maryani Pendeta 6 April 2001 April 2001 – Sekarang
(Emeritasi tgl 31 Agustus 2021)
20. Pdt. Surya Samudera Giamsyah Pendeta 5 Agustus 2004 8 Ags 2000 – 3 Okt 2009
21. Pdt. Janoe Widyopramono Pendeta 23 Juni 2005 1 Okt 2002 – 1 Febr 2012
22. Pdt. Lukman Halim Pendeta 11 Juni 2014 Februari 2012 – 31 Desember 2022
23. Pdt. Erny Stientje Sendow Pendeta 11 Maret 2019 Maret 2019 – sekarang